It Happens to Me

Cr; Twitter



Wow, sudah tahun 2019 ya? Oke, selamat tahun baru semua, semoga segala hal baik beserta kita di tahun yang baru ini.

Dan....ya, apa yang terjadi di tahun 2018 bagi saya?

Bisa dikatakan, 2018 adalah tahun yang amat sangat melelahkan untuk saya. Tak hanya itu, 2018 adalah tahun yang penuh rasa sakit dan perjuangan untuk melewatinya.

Semalam, ketika menjelang pergantian tahun baru dan saya baru pulang dari kerja, saya memilih untuk menghabiskannya sendirian, untuk merenungi apa yang sudah saya lalui di tahun 2018.

Saya merasa tidak perlu merayakan apa-apa tadi malam, karena pencapaian di tahun 2018 didominasi oleh rasa sedih, sakit, kecewa, dan patah hati. Saya hanya ingin mengintrospeksi diri saya di tahun 2018. 



Saya mencoba flashback semua momen-momen di tahun 2018 melalui media sosial saya. Dari Instagram, Facebook, Twitter, Blog, Tumblr hingga Spotify. 

Dan ya, yang saya temui adalah unggahan-unggahan yang hampir seluruhnya mencurahkan kesedihan saya. Hampir sepanjang tahun 2018 saya merasakan kesedihan dan kepahitan yang luar biasa. Kebahagiaan di tahun 2018 pun bisa saya hitung pakai jari.

Tulisan-tulisan di blog semuanya mengungkapkan kegalauan saya.

Unggahan Instagram Story saya tentang kutipan-kutipan dan lagu-lagu sedih.

Kicauan-kicauan di Twitter saya tentang rasa yang tidak bisa saya ungkapkan di media sosial lain dan tidak ingin dilihat orang-orang yang mengenal saya saat ini.

History Spotify saya berisi lagu-lagu patah hati dan bahkan saya membuat dua playlist yang menggambarkan perasaan sedih luar biasa saya.

Ya, semuanya tentang kesedihan. Saya hancur di tahun 2018 ini. Berkeping-keping. 

Tahun 2018 ini saya menyadari bahwa sudah masuk dalam tahap depresi, stres, kecemasan yang berlebih, dan tidak mencintai diri saya sendiri meski belum membutuhkan obat untuk menanganinya, saya sadar bahwa kesehatan mental itu penting untuk dirawat.

Tahun 2018 ini juga mungkin semacam karma bagi saya. Karena saya sadar, dulu sebelum depresi menyerang, saya adalah sosok yang sinis terhadap orang-orang yang memutuskan untuk bunuh diri. 

Dan sekarang, hal itu terjadi pada diri saya sendiri. Ternyata, saya juga bisa punya keinginan untuk bunuh diri setelah segala hal menerpa saya.

Ternyata, keinginan bunuh diri bukan karena iman yang tipis, bukan karena tidak percaya Tuhan, bukan karena saya tak berusaha mencari jalan keluar, bukan karena saya berpikiran pendek.

Tapi karena murni saya hanya ingin tidak lagi merasakan rasa sakit yang menghimpit di dada, rasa sakit yang luar biasa, nyeri yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Saya ingin menyelesaikan rasa sakit itu seketika. 

Saya ingin menyerah dan bunuh diri di tahun 2018. Berkali-kali.

Tahun 2018 ini, begitu deras air mata yang saya keluarkan. Menangis menjadi hal yang biasa bagi saya di tahun ini. 

Entah sudah berapa kali saya membasahi bantal di kamar saya dengan air mata, memandang ke cermin melihat sosok yang habis menangis secara hebat, menahan tangis saat sedang bekerja dan akhirnya melipir ke suatu tempat di kantor untuk menumpahkan air mata yang sudah tak kuasa lagi ditahan.

Tahun 2018 saya ini tentang kehilangan. Sepanjang 12 bulan, ada saja orang-orang tersayang pergi dari kehidupan saya. 

Mengawali tahun dengan kepergian dari satu sosok yang berhasil membuka hati saya setelah sekian lama tidak ada yang mampu melakukannya. 

Dia adalah orang yang membuat saya merasakan lagi rasanya jatuh cinta, rasanya dicintai dan mencintai, orang yang membuat saya mau kembali merakit sebuah hubungan, orang yang bisa saya sayangi sedemikian rupa, orang yang saya sangat butuhkan saat itu. 

Namun, semuanya pun harus berakhir dengan dia pergi meninggalkan saya sendiri di sini.

Dia pergi dengan alasan yang klise. Namun mampu menghancurkan segala pertahanan saya. 

Kepergiannya menjadi awal mula depresi saya muncul, kepergiannya menjadikan niat pertama saya untuk mengakhiri hidup. 

Saya patah hati, ketika saya mulai percaya lagi soal cinta. Hati saya remuk dan saya jatuh sejatuh-jatuhnya. 

Ini adalah kepergian kedua yang rasa sakitnya sama saat saya ditinggal almarhum Ayah untuk selama-lamanya.

Ya, rasanya sama persis. 

Saya terseok-seok melewati awal hingga pertengahan tahun 2018, dengan tiap pagi menyadari bahwa hati masih patah, masih mengharap kehadirannya, masih merindukannya, masih denial bahwa apa yang terjadi kemarin hanyalah mimpi, masih begitu menyayanginya, masih marah dengan apa yang sudah ia lakukan di kehidupan saya, masih ingin mengetahui kabarnya. Luka saya masih terus menganga dan belum tersembuhkan.

Luka dan duka saya semakin hebat ketika rekan-rekan kerja terdekat saya turut meninggalkan saya di sini sendirian untuk mengejar mimpi mereka masing-masing.

Saya yang terbiasa menjalani hari dengan kehadiran mereka, kini harus melaluinya tanpa mereka ada di sisi saya.

Saya semakin hancur tidak berbentuk. Niatan bunuh diri kerap hadir di pikiran. Saya kerap tidak merasa kuat untuk melewati ini semua. Saya kehilangan diri saya sendiri.

Sampai pertengahan menuju akhir tahun, di saat saya masih dalam proses penyembuhan luka batin saya, masih saja hadir juga orang-orang yang menyakiti saya sedemikian rupa.

Dan yang membuat saya semakin terpukul adalah, hal itu dilakukan oleh orang-orang terdekat saya, orang-orang yang saya sayangi, orang-orang yang saya berikan kepercayaan.

Menjelang akhir tahun, saya bahkan tak menyangka bisa menjadi orang ketiga di dalam sebuah hubungan yang dijalani seorang teman saya. Saya tidak pernah membayangkan bisa berada di posisi seperti ini.

Dia membuat saya masuk ke dalam hidupnya lebih jauh lagi. Menyentuh hati saya yang sedang dalam proses penyembuhan. Dan membuat saya menyayanginya.

Saya tahu, ini semua salah dan betapa bodohnya saya ketika mencoba memberikan kepercayaan ketika dia berkata,

"Aku sayang kamu, aku mau jagain kamu,"

Nyatanya tidak, yang ada saya sadar yang kita berdua lakukan adalah merusak pertemanan baik yang sudah kita bangun selama satu tahun lebih.

Nyatanya, saya tidak bisa membagi orang yang saya sayang dengan siapapun.

Nyatanya, ia pun juga perlahan berubah menjadi berbeda dari yang awal saya pahami.

Nyatanya, saya tidak kuat untuk melihatnya memberikan segalanya untuk orang lain.

Nyatanya, saya tidak bisa mengalahkan rasa bersalah saya yang besar terhadap sosok yang tanpa disadari kita sakiti bersama. 

Yang saya sesali darinya adalah, dia adalah salah satu orang yang saya percaya untuk berbagi cerita. Dia paham apa yang sedang saya alami saat itu, dia tahu apa yang saya rasakan. Tapi mengapa dia malah menjadi orang yang sama seperti yang pertama?

Saya sedih, apa yang kita lakukan sudah merusak pertemanan baik kita. Karena saya sadar, setelah apa yang terlewati, meskipun ratusan kali saya bilang "jangan berubah", keadaan tetap akan berbeda nantinya bersama dia.

Saya sedih, kepercayaan saya kembali dihancurkan begitu saja.

Tak adil memang jika menyalahkan dia seutuhnya, saya pun juga salah, tak pernah bisa tegas dari awal hanya demi rasa sayang yang memperbudak saya.

Hingga akhirnya, saya dan dia memutuskan untuk sama-sama pergi. Meski saya yang berniat dan mengawalinya untuk meninggalkannya terlebih dahulu, saya tetap menangis hebat saat ia juga memutuskan untuk pergi dari saya.

Saya menangis sejadi-jadinya lagi. Saya merasakan luka yang luar biasa nyeri di dada lagi. Gila, sakit sekali ya Tuhan. Dada saya kembali sesak ketika membaca kalimatnya yang mengatakan untuk pergi dari saya.

Saya menangis, karena saat itu, saya ternyata masih berharap untuk ia memperjuangkan saya, tapi ternyata tidak. Ia lebih memperjuangkan kisah lamanya. Saya hancur. Lagi.

Dan dia adalah orang kedua yang membuat niatan bunuh diri saya kembali lagi. Saat itu juga, saya kacau, kalut, dan sempat tak bisa berpikir jernih. Saya kehilangan orang yang saya sayang lagi.

Saya ingat betul, tiga hari sebelum Natal, saya semakin depresi, makan pun enggan, pekerjaan semakin kacau, tidur selalu larut bahkan menjelang subuh.

Tiga hari sebelum Natal saya lalui dengan perjuangan untuk melawan rasa ingin mengakhiri hidup saya. Mata saya bengkak tak karuan karena tiga hari penuh saya menangis.

Sementara menyimpan kekacauan itu, saya harus berusaha terlihat baik-baik saja di depan teman-teman kerja saya.

Wow, entah seperti apa wujud saya waktu itu hingga akhirnya saya pulang ke tempat asal untuk merayakan Natal bersama keluarga.

Meski bersama keluarga, saya tetap merasakan kesedihan yang mendalam dan mulai harus membiasakan hidup saya tanpa ada sosoknya lagi.

Saya harus mampu untuk tidak mencarinya lagi, tidak membutuhkannya lagi, tidak menghubunginya lagi, tidak ingin mengetahui kabarnya lagi.

Ya, saya kembali tersiksa dengan perasaan-perasaan seperti itu. Menyadari bahwa dia sudah tidak akan ada lagi di hidup saya.

Namun, dia sempat datang lagi saat malam Natal, sekadar mengucapkan selamat untuk hari raya yang sama-sama kita rayakan.

Saya sudah membacanya melalui notifikasi, seketika tangis saya pecah, sedih dan rindu berbaur menjadi satu. Saya menyadari bahwa saya benar-benar merindukannya. Kangen yang teramat sangat.

Tapi malam itu, saya memutuskan untuk belum mau membalas ucapannya, karena saya takut akan kembali luluh dan memintanya kembali ke kehidupan saya. Pun saya juga belum siap membalas pesan singkatnya itu.

Saya biarkan hingga keesokan hari, sampai saya bisa membalasnya dengan pesan sewajarnya. Tapi, kembali tangis saya pecah karena semua yang berubah. Kita sudah tidak sehangat yang dulu lagi....

Saya membalas pesannya sambil menangis, dan semakin sesenggukan membaca ucapan terima kasihnya.

Maafkan saya yang sampai detik ini masih menyayangi dan merindukanmu sedemikian hebat, maaf. Maafkan saya.

Hingga saya sadar bahwa saya harus berdamai dengan diri saya sendiri dan keadaan. Saya memang sempat marah dengannya juga, dengan apa yang sudah ia perbuat ke saya dan lalu kemudian pergi.

Namun, saya menyadari bahwa saya tidak mau seperti ini. Kita kenal baik-baik, menjalin pertemanan juga baik, saya tidak mau berakhir seperti ini.

Maka dari itu, sebisa mungkin saya tetap menjadi orang yang sama seperti yang dia kenal pertama kali. Saya tetap akan selalu ada untuknya jika ia membutuhkan saya. Saya tidak akan berubah sedikitpun.

Saya, harus melanjutkan hidup saya meski tanpa dia di sini. Pun dia, harus melanjutkan hidupnya, meski bukan saya alasannya untuk tersenyum dan tertawa.

Ya, 2018 yang sungguh berat bagi saya.

Meski begitu, saya tetap bersyukur untuk apapun yang sudah boleh saya rasakan di tahun 2018 ini. Meski begitu berat perjalanan saya kali ini, Tuhan tetap menghadirkan saya orang-orang yang membantu saya melewati ini semua.

Untuk bisa tetap hidup hingga bisa menulis postingan ini, saya bersyukur ditemani oleh teman yang memang ahli di bidang kesehatan mental dan membuat saya melakukan begitu banyak terapi untuk penyembuhan.

Sahabat-sahabat masa kuliah yang bertahan bersama saya hingga sekarang, mereka tempat bercerita saya yang paling tepat ampuh. Mereka yang tidak menghakimi segala hal yang sudah saya lakukan.

Dan terutama keluarga saya yang membuat semangat hidup saya tetap ada meski bisa dibilang hanya ada sedikit. Terutama ibu, yang membuat saya tidak mau mengecewakannya karena sudah membesarkan saya susah payah namun menyerah hanya karena orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Mereka adalah orang-orang yang membuat saya tetap menjaga kewarasan saya, yang membuat saya tetap bertahan hidup, membuat saya sadar atas segala kesalahan dan kebodohan-kebodohan yang sudah saya lakukan, yang membuat saya sadar bahwa sudah seharusnya saya menyayangi diri saya sendiri, yang membuat rasa percaya diri saya kembali lagi, yang membuat saya kembali menghargai diri sendiri, dan yang membuat saya menyadari bahwa masih banyak orang yang begitu tulus menyayangi saya.

Saya bersyukur masih punya mereka, entah apa jadinya saya jika tidak ada orang-orang yang siap mendukung segala keadaan saya, mungkin kalian tidak akan pernah membaca postingan ini.

Tak hanya itu, ada juga banyak hal yang membuat saya tetap bertahan hidup, seperti lagu-lagu dan buku yang menguatkan.

Tahun 2018, ucapan terima kasih terdalam saya, saya sampaikan untuk Kunto Aji dan Marchella FP, karena karya-karya mereka membuat saya bertahan di tengah badai.

Album Mantra Mantra Kunto Aji seolah obat bagi saya yang begitu kalut dengan kehidupan, pun buku Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI) karya Marchella FP begitu menampar saya.

Saya bersyukur dan berterima kasih untuk semua orang dan hal yang ada di sekitar saya, saat saya sedang berada di titik terendah ini.

Saya juga berterima kasih pada diri saya sendiri karena mampu untuk melewati ini semua hingga 2018 usai. Yang mau tertatih-tatih menjalani semuanya. Yang kuat menghadapi segalanya meski berulang kali saya mau menyerah dan berhenti.

Saya bersyukur karena Tuhan masih menyadarkan saya untuk tetap bertahan sedikit lagi untuk menjalani kehidupan saya.

2018, saya benar-benar hancur, ditempa sedemikian rupa, belajar mengikhlaskan, belajar menghadapi kehilangan, belajar menyayangi diri sendiri, belajar untuk hidup lebih mandiri lagi.

2018 yang benar-benar melelahkan dan kini saya mencapai di tahun 2019.

Entah apa yang saya cari di tahun 2019, kali ini saya lebih ingin menyerahkan hidup saya di tangan sang Pemilik Semesta. Untuk saat ini, saya hanya ingin istirahat sejenak setelah 2018 membuat saya lari lebih cepat dan yang terpenting saya ingin menyembuhkan hati dan diri saya terlebih dahulu.

Ya, saya ingin sembuh dari semua rasa sakit dan luka yang sudah saya rasakan di tahun 2018 hingga nanti akhirnya saya kembali siap untuk membuka hati dan mencintai seseorang lagi.

Saya ingin bisa mencintai diri saya sendiri dulu, baru nanti saya akan kembali memberikan cinta saya untuk seseorang.

Saya ingin bisa mengikhlaskan dan melepaskan apapun, siapapun yang sudah pergi dari kehidupan saya.

Saya ingin bisa berdamai dengan diri sendiri dan menerima apa yang terjadi pada saya saat ini.

Untuk saat ini, saya memang belum sembuh. Saya masih mengupayakan banyak hal untuk itu, masih berusaha keras dan berjuang walaupun kadang juga gagal.

Saya masih menjalani terapi-terapi yang disarankan teman saya. Saya masih kerap menulis tentang perasaan agar lebih lega.

Tak apa, saat ini saya sedang menikmati proses penyembuhan saya. Meski sedih masih kerap datang, meski saya juga masih kerap menangis. Saya nikmati itu semua sampai bisa mengelolanya sebaik mungkin.

Terima kasih 2018 yang begitu keras menempa saya. Seberapapun kerasnya, Puji Tuhan, saya bisa melaluinya karena Ia bersama saya.

2019, saya siap untuk pelajaran-pelajaran baru lagi dan tentunya, saya siap untuk menjemput kebahagiaan dan sukacita saya lagi di sini.

Sekali lagi, terima kasih 2018. Selamat datang 2019.


Surakarta, 1 Januari 2019
NBRP.

Komentar

  1. Hai Buls, salam hangat dari kota pahlawan. Tetep semangat ya!
    Kamu enggak sendirian. Ada keluarga, terlebih ada Tuhan yang tidak pernah pergi.
    Kalau main ke Surabaya berkabar yaaa...!

    BalasHapus
  2. Come on, Bul. You can pass this! Just keep fighting. Tinggalin semua yang sedih-sedih itu di 2018 sana and fight!

    BalasHapus

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan kata-kata yang baik, maka gue juga akan menanggapinya dengan baik. Terima kasih sudah membaca postingan gue dan blogwalking di sini. Terima kasih juga sudah berkomentar. Have a great day, guys! Godblessya!

Postingan Populer