Terserah
Saya sadar, luka saya di masa lalu belum sembuh dan terus mengupayakan diri ini pulih sepanjang tahun ini.
Doa saya selalu dan masih sama sampai sekarang, saya hanya ingin sembuh dari masa lalu.
Tak pernah saya putus untuk mendoakan hal itu, sepanjang malam, sepanjang saat teduh saya, berharap saya segera bisa lepas darinya dan kemudian menemukan sosok baru yang tepat untuk saya di masa depan.
Saya sadar, perjalanan saya menyembuhkan luka ini bukan hal yang mudah dan ringan, saya terus jatuh bangun dan juga berurai air mata.
Namun kini, setelah segala upaya yang sudah saya coba dan usahakan, saya terjatuh lagi dengan kesalahan yang sama.
Kesalahan yang sama namun dengan orang yang berbeda.
Bangsat.
Saya kembali jatuh sejatuh-jatuhnya. Hati yang sudah perlahan-lahan merekat, kini kembali hancur dan pekat. Luka yang sudah mulai tak terasa, kini kembali melekat.
Gila, rasa sakitnya sama seperti yang sudah hampir berlalu itu. Hati saya terluka lagi, perih dan kembali seperti dijejali beban yang membuatnya kembali sesak.
Gila, apa yang sudah saya perjuangkan dan usahakan mati-matian selama ini runtuh hanya dalam satu waktu saja.
Semua yang saya lakukan selama ini untuk menyembuhkan diri sia-sia.
Saya. Terjatuh. Lagi.
Gila.
Saya kembali kecewa, marah, dan menyalahkan diri saya sendiri. Saya menghakimi diri ini dengan segala hal yang hanya membuat saya semakin berada di titik terendah saya.
Hati saya kembali membenci. Hati saya kembali mendingin dan pahit. Hati saya kembali mati rasa.
Trauma yang lalu pun semakin turut menjadi-jadi, ketakutan pun kekhawatiran saya semakin menumpuk.
Saya bertanya-tanya, saya menangis hingga tak mengeluarkan suara karena sudah kalah dengan rasa sakit yang saya rasakan bersamaan.
Saya sudah tidak bisa berkata-kata lagi, entah apa yang sedang terjadi di dalam kehidupan saya.
Meski hati sempat bergumul kepada pemilik semesta.
Lagi?
Apakah saya tidak pantas untuk mendapatkan yang tepat?
Apakah saya tidak pantas untuk mendapatkan yang terbaik?
Apakah saya tidak pantas untuk mencintai dan dicintai?
Kenapa harus terjadi lagi?
Bisakah kalau tidak ada niatan untuk mendampingi saya seumur hidup, jangan sentuh hati dan hidup saya?
Apakah saya tidak pantas untuk mendapatkan orang yang akan bersama dengan saya selama-lamanya?
Lagi?
Saya akui, saya pun brengsek, itu sebabnya saya menyalahkan diri saya sendiri. Segala kebodohan itu kembali terjadi karena saya brengsek.
Tunggu dulu, saya dan kamu sama-sama brengsek. Saya dan kamu sama-sama merusak pertemanan yang sudah dibangun bertahun-tahun. Saya menyadari itu.
Saya pikir, setelah kejadian itu saya bisa bertingkah biasa saja, tapi ternyata tidak. Saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri.
Saya kecewa, saya marah, saya merasa bersalah.
Terlebih saat saya tahu tanggapanmu hanyalah sekadar kelakar yang makin menyakiti hati saya. Ke mana lagi saya harus mengadukan apa yang saya rasakan?
Seolah berbicara denganmu pun tak ada guna dan percuma saja.
Meski saya sempat berkata tidak akan berubah dan meminta hal yang sama padamu, ternyata itu malah hanya membuat saya makin berharap.
Setelah apa yang terjadi kemarin, saya merasa sudah memiliki. Saya merasa membutuhkanmu. Saya merasa kamu akan tinggal di sini. Tapi nyatanya tidak seperti itu dan tidak akan pernah bisa seperti itu selamanya.
Apalagi saya tahu harapan saya tak berbalas. Wow, campur aduk sekali apa yang saya rasakan. Beban semakin menjadi beratnya. Saya semakin sulit bernapas. Saya gila dengan harapan dan ekspektasi saya sendiri.
Saya membenci lagi.
Saya benci diri saya sendiri. Saya benci apa yang sudah terjadi kemarin. Dan saya membencimu.
Saya harus memulai segala sesuatunya dari awal lagi, saya harus bangkit perlahan-lahan lagi, memulai dari nol apa yang sudah saya perjuangkan sebelumnya.
Saat ini, saya memilih untuk menjauh dan pergi darimu, agar saya tak terus merasa tersakiti dengan harapan dan angan-angan yang saya tahu itu semu.
Tak apalah, toh, kamu tidak butuh saya. Kamu masih bisa hidup dengan baik tanpa saya di sampingmu.
Toh, kamu juga tidak peduli dengan apa yang saya rasakan saat ini. Mungkin kamu juga tidak paham seperti apa rasa sakit yang saya rasakan sekarang.
Tak apa. Sayanya saja yang bodoh. Sayanya saja yang terlalu berharap. Sayanya saja yang terlalu mudah tersentuh hatinya.
Saya merasa lebih baik menjauh dan pergi darimu, karena toh, kita sudah merusak pertemanan ini bersama dan saya tidak bisa memperbaikinya sendiri.
Tak apa. Semoga kamu menemukan teman yang jauh lebih baik dari saya.
Untuk saat ini saya tidak peduli dengan apapun tanggapanmu, apa yang kamu lakukan dan pikirkan
Sebut saya berlebihan, terlalu drama dan terbawa perasaan. Silakan.
Yang saya pedulikan adalah diri saya sendiri yang sudah berkali-kali jatuh dan terluka.
Kamu mau datang lagi ke hidup saya atau tidak.
Terserah. Saya tidak peduli.
Namun kini, setelah segala upaya yang sudah saya coba dan usahakan, saya terjatuh lagi dengan kesalahan yang sama.
Kesalahan yang sama namun dengan orang yang berbeda.
Bangsat.
Saya kembali jatuh sejatuh-jatuhnya. Hati yang sudah perlahan-lahan merekat, kini kembali hancur dan pekat. Luka yang sudah mulai tak terasa, kini kembali melekat.
Gila, rasa sakitnya sama seperti yang sudah hampir berlalu itu. Hati saya terluka lagi, perih dan kembali seperti dijejali beban yang membuatnya kembali sesak.
Gila, apa yang sudah saya perjuangkan dan usahakan mati-matian selama ini runtuh hanya dalam satu waktu saja.
Semua yang saya lakukan selama ini untuk menyembuhkan diri sia-sia.
Saya. Terjatuh. Lagi.
Gila.
Saya kembali kecewa, marah, dan menyalahkan diri saya sendiri. Saya menghakimi diri ini dengan segala hal yang hanya membuat saya semakin berada di titik terendah saya.
Hati saya kembali membenci. Hati saya kembali mendingin dan pahit. Hati saya kembali mati rasa.
Trauma yang lalu pun semakin turut menjadi-jadi, ketakutan pun kekhawatiran saya semakin menumpuk.
Saya bertanya-tanya, saya menangis hingga tak mengeluarkan suara karena sudah kalah dengan rasa sakit yang saya rasakan bersamaan.
Saya sudah tidak bisa berkata-kata lagi, entah apa yang sedang terjadi di dalam kehidupan saya.
Meski hati sempat bergumul kepada pemilik semesta.
Lagi?
Apakah saya tidak pantas untuk mendapatkan yang tepat?
Apakah saya tidak pantas untuk mendapatkan yang terbaik?
Apakah saya tidak pantas untuk mencintai dan dicintai?
Kenapa harus terjadi lagi?
Bisakah kalau tidak ada niatan untuk mendampingi saya seumur hidup, jangan sentuh hati dan hidup saya?
Apakah saya tidak pantas untuk mendapatkan orang yang akan bersama dengan saya selama-lamanya?
Lagi?
Saya akui, saya pun brengsek, itu sebabnya saya menyalahkan diri saya sendiri. Segala kebodohan itu kembali terjadi karena saya brengsek.
Tunggu dulu, saya dan kamu sama-sama brengsek. Saya dan kamu sama-sama merusak pertemanan yang sudah dibangun bertahun-tahun. Saya menyadari itu.
Saya pikir, setelah kejadian itu saya bisa bertingkah biasa saja, tapi ternyata tidak. Saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri.
Saya kecewa, saya marah, saya merasa bersalah.
Terlebih saat saya tahu tanggapanmu hanyalah sekadar kelakar yang makin menyakiti hati saya. Ke mana lagi saya harus mengadukan apa yang saya rasakan?
Seolah berbicara denganmu pun tak ada guna dan percuma saja.
Meski saya sempat berkata tidak akan berubah dan meminta hal yang sama padamu, ternyata itu malah hanya membuat saya makin berharap.
Setelah apa yang terjadi kemarin, saya merasa sudah memiliki. Saya merasa membutuhkanmu. Saya merasa kamu akan tinggal di sini. Tapi nyatanya tidak seperti itu dan tidak akan pernah bisa seperti itu selamanya.
Apalagi saya tahu harapan saya tak berbalas. Wow, campur aduk sekali apa yang saya rasakan. Beban semakin menjadi beratnya. Saya semakin sulit bernapas. Saya gila dengan harapan dan ekspektasi saya sendiri.
Saya membenci lagi.
Saya benci diri saya sendiri. Saya benci apa yang sudah terjadi kemarin. Dan saya membencimu.
Saya harus memulai segala sesuatunya dari awal lagi, saya harus bangkit perlahan-lahan lagi, memulai dari nol apa yang sudah saya perjuangkan sebelumnya.
Saat ini, saya memilih untuk menjauh dan pergi darimu, agar saya tak terus merasa tersakiti dengan harapan dan angan-angan yang saya tahu itu semu.
Tak apalah, toh, kamu tidak butuh saya. Kamu masih bisa hidup dengan baik tanpa saya di sampingmu.
Toh, kamu juga tidak peduli dengan apa yang saya rasakan saat ini. Mungkin kamu juga tidak paham seperti apa rasa sakit yang saya rasakan sekarang.
Tak apa. Sayanya saja yang bodoh. Sayanya saja yang terlalu berharap. Sayanya saja yang terlalu mudah tersentuh hatinya.
Saya merasa lebih baik menjauh dan pergi darimu, karena toh, kita sudah merusak pertemanan ini bersama dan saya tidak bisa memperbaikinya sendiri.
Tak apa. Semoga kamu menemukan teman yang jauh lebih baik dari saya.
Untuk saat ini saya tidak peduli dengan apapun tanggapanmu, apa yang kamu lakukan dan pikirkan
Sebut saya berlebihan, terlalu drama dan terbawa perasaan. Silakan.
Yang saya pedulikan adalah diri saya sendiri yang sudah berkali-kali jatuh dan terluka.
Kamu mau datang lagi ke hidup saya atau tidak.
Terserah. Saya tidak peduli.
So go ahead and break my heart again
Leave me wonderin' why the hell I ever let you in
Are you the definition of insanity?
Or am I?
Oh, it must be nice
To love someone who lets you break them twice
Surakarta, 19 Oktober 2018.
NBRP.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan kata-kata yang baik, maka gue juga akan menanggapinya dengan baik. Terima kasih sudah membaca postingan gue dan blogwalking di sini. Terima kasih juga sudah berkomentar. Have a great day, guys! Godblessya!