Masih Sama
Oh, hai...
Saya pikir, saya tidak akan kembali ke blog ini untuk berkeluh kesah soal hal yang sama seperti beberapa bulan terakhir ini.
Dan, ya, saya salah lagi.
Saya kira, saya sudah baik-baik saja, saya kira semua sudah kembali ke sedia kala seperti diri saya sebelum pertemuan itu. Saya kira dan saya kira.
Dan ternyata, saya masih orang yang sama dengan perasaan yang masih tertinggal dan masih sama besarnya sejak membiarkannya masuk dalam kehidupan saya, merelakan ditinggal pergi hingga saat ini.
Saya masih orang yang sama, yang belum bisa berhenti untuk memikirkan dan juga menyebut namanya di tiap doa-doa saya.
Saya masih orang yang sama, yang selalu merindukan dan mengenang kembali cerita-cerita manis yang sudah berlalu.
Saya masih orang yang sama, yang akan selalu menangis ketika saya sadar tidak bisa melakukan apa-apa lagi untuk menenangkan hati ini.
Saya masih orang yang sama dan menangis selalu menjadi cara terbaik ketika saya sudah tidak menahan semua beban yang menghimpit.
Silakan sebut saya bodoh, naif, dan manusia gagal move on. Silakan.
Tapi ya inilah saya. Kalau boleh meminta, saya tidak ingin seperti ini. Saya tidak ingin terlarut dalam perasaan yang masih ada ini.
Toh, untuk apa mempertahankan perasaan untuk orang yang tidak bisa menghargai hal itu kan?
Percayalah, saya sudah melakukan segala cara untuk menyelamatkan diri saya lepas dari bayang-bayangnya.
Saya sudah mencoba membahagiakan diri saya sendiri agar otak dan hati ini tidak fokus kepadanya.
Yang saya dapat malah perasaan itu semakin menguat dan saya semakin merindukannya. Yang saya rasakan malah kelelahan luar biasa karena saya merasa energi saya lebih cepat terkuras dari biasanya.
Entah sudah berapa kali saya mengeluh dan merengek kepada Pemilik Semesta bahwa saya lelah dengan perasaan seperti ini.
Saya letih dengan rasa yang tak kunjung usai dan terus berkutat dengan diri sendiri yang keras kepala ini.
Saya benci ketika hampir setiap hari harus perang batin, ketika otak dan logika meminta diri ini untuk melupakannya, tapi hati juga bersikeras untuk mengenang segala kebaikannya serta menyimpan harapan baik tentangnya.
Sungguh, energi benar-benar terkuras ketika kedua hal ini tidak bisa bersatu dan akhirnya berujung pada saya yang depresi dan merasa hampir gila harus menghadapi hal seperti ini setiap hari.
Saya juga capek ketika harus bertingkah saya baik-baik saja di depan banyak orang. Memaksakan diri untuk tertawa dan tersenyum untuk menutupi luka dan sakit yang sedang saya alami sekarang ini.
Pura-pura bahagia itu membutuhkan banyak tenaga.
Saya tak menyangka, luka batin yang saya rasakan cukup dalam dan sulit untuk menyembuhkannya. Saya tersiksa dengan kesakitan ini hingga sekarang.
Saya pernah patah hati dan terluka, tapi rasa sakitnya tidak sedahsyat ini. Patah hati saya tiga tahun yang lalu tidak sehebat ini.
Patah hati saya tiga tahun yang lalu tidak membuat saya setrauma dan setakut ini.
Setelah sembuh dari patah hati itu, ternyata saya kembali terjatuh dan bahkan lebih dalam lagi daripada sebelumnya.
Saya patah hati lagi, ketika saya sudah bisa membuka hati yang lama tertutup.
Saya patah hati lagi, ketika saya mencoba memberikan yang terbaik untuk seseorang yang bisa mencuri hati saya.
Saya patah hati lagi, ketika saya bisa menyayangi sepenuh hati dan percaya lagi tentang cinta.
Orang-orang terdekat saya paham bagaimana saya jika sudah menyayangi sesuatu secara mendalam.
Mereka juga paham bagaimana remuk dan hancurnya saya yang ditinggal saat sedang sayang-sayangnya itu.
Saya, kacau balau hingga tak bisa mengenali diri sendiri.
Karena luka ini dan perjalanan panjang untuk menyembuhkannya, saya menjadi orang yang awalnya apatis semakin lebih apatis lagi soal cinta. Saya tak peduli. Semua itu hanya omong kosong belaka.
Hati saya juga hampa, seolah tidak bisa lagi merasakan afeksi yang ada di sekitar saya.
Hati saya mati rasa dan dingin, seolah tak bisa lagi merasakan apa itu sejatinya soal cinta.
Saya tak lagi peduli dengan rasa-rasa yang hadir. Walau sebenarnya saya tidak mau menyakiti orang karena saya sendiri belum sembuh dan takut hanya menjadikannya pelarian.
Saya kembali tidak percaya cinta dan timbul pertanyaan dalam benak, apa cinta itu sebenarnya?
Saya tak lagi bisa tertawa lepas, semua yang saya rasakan seolah semu belaka.
Saya kembali menutup pintu hati saya dan tak tahu apa yang akan bisa membuatnya terbuka lagi.
Saya menjadi sosok yang sinis dan getir.
Kini, seolah hidup saya hanya untuk bangun dari tidur, bekerja, dan tidur lagi dan itu yang dilakukan berulang-ulang setiap harinya.
Seolah tak ada sesuatu yang bisa membuat saya merasa lebih hidup.
Saya merasa kehilangan diri saya yang mudah semangat akan hal-hal kecil.
Saya merasa kehilangan diri saya yang hangat dan tidak pernah takut atas sikap orang terhadap saya.
Tak hanya itu, saya juga merasa kehilangan kepercayaan diri saya, saya merasa tidak pantas untuk dicintai.
Saya merasa berbeda, mengingat saya tidak seperti perempuan pada umumnya. Saya tidak cantik, tidak pandai berdandan pun bersolek, penampilan terbaik saya sekadar kaus dan celana jins panjang serta sneakers.
Saya khawatir apakah diri ini akan bisa membuat orang lain mencintai saya apa adanya.
Meskipun berulang kali juga saya mencoba untuk menjadi sama seperti perempuan-perempuan di luar sana,
Tapi justru saya tidak nyaman. Saya nyaman sebagaimana saya yang seperti ini.
Satu pergumulan, namun berhasil memporak-porandakan kehidupan saya.
Dan kini, saya tidak tahu apa yang akan membuat saya pulih, karena saya sudah mencoba berbagai cara.
Saya tidak tahu apa yang bisa menyembuhkan saya dan mengembalikan diri ini seperti sedia kala.
Saya tidak tahu apa yang bisa membuat rasa percaya saya terhadap apapun akan kembali lagi.
Saya tidak tahu setelah ini apakah saya bisa kembali membuka hati saya lagi.
Saya belum mengerti apa yang sedang Tuhan kerjakan dalam hidup saya.
Maaf jika perasaan ini hanya membebani yang bersangkutan, sungguh, saya pun tak ingin rasa ini masih ada karena saya juga tahu tak akan pernah ada ujungnya.
Saya malah berharap, untuknya segera mendapat pengganti yang lebih baik dari saya, agar saya tidak merasa bisa melihat celah untuk masuk lagi ke kehidupannya.
Saya hanya ingin mengalihkan perasaan ini kepada sosok yang tepat dan kembali merasa dicintai secara benar.
Untuk saat ini saya nggak minta apa-apa, kecuali ingin sembuh, pulih, dan kembali hidup tenang serta bahagia dengan cara saya sendiri.
Iya, saya hanya ingin sembuh.....
Surakarta, 22 Agustus 2018.
NBRP.
Dan ternyata, saya masih orang yang sama dengan perasaan yang masih tertinggal dan masih sama besarnya sejak membiarkannya masuk dalam kehidupan saya, merelakan ditinggal pergi hingga saat ini.
Saya masih orang yang sama, yang belum bisa berhenti untuk memikirkan dan juga menyebut namanya di tiap doa-doa saya.
Saya masih orang yang sama, yang selalu merindukan dan mengenang kembali cerita-cerita manis yang sudah berlalu.
Saya masih orang yang sama, yang akan selalu menangis ketika saya sadar tidak bisa melakukan apa-apa lagi untuk menenangkan hati ini.
Saya masih orang yang sama dan menangis selalu menjadi cara terbaik ketika saya sudah tidak menahan semua beban yang menghimpit.
Silakan sebut saya bodoh, naif, dan manusia gagal move on. Silakan.
Tapi ya inilah saya. Kalau boleh meminta, saya tidak ingin seperti ini. Saya tidak ingin terlarut dalam perasaan yang masih ada ini.
Toh, untuk apa mempertahankan perasaan untuk orang yang tidak bisa menghargai hal itu kan?
Percayalah, saya sudah melakukan segala cara untuk menyelamatkan diri saya lepas dari bayang-bayangnya.
Saya sudah mencoba membahagiakan diri saya sendiri agar otak dan hati ini tidak fokus kepadanya.
Yang saya dapat malah perasaan itu semakin menguat dan saya semakin merindukannya. Yang saya rasakan malah kelelahan luar biasa karena saya merasa energi saya lebih cepat terkuras dari biasanya.
Entah sudah berapa kali saya mengeluh dan merengek kepada Pemilik Semesta bahwa saya lelah dengan perasaan seperti ini.
Saya letih dengan rasa yang tak kunjung usai dan terus berkutat dengan diri sendiri yang keras kepala ini.
Saya benci ketika hampir setiap hari harus perang batin, ketika otak dan logika meminta diri ini untuk melupakannya, tapi hati juga bersikeras untuk mengenang segala kebaikannya serta menyimpan harapan baik tentangnya.
Sungguh, energi benar-benar terkuras ketika kedua hal ini tidak bisa bersatu dan akhirnya berujung pada saya yang depresi dan merasa hampir gila harus menghadapi hal seperti ini setiap hari.
Saya juga capek ketika harus bertingkah saya baik-baik saja di depan banyak orang. Memaksakan diri untuk tertawa dan tersenyum untuk menutupi luka dan sakit yang sedang saya alami sekarang ini.
Pura-pura bahagia itu membutuhkan banyak tenaga.
Saya tak menyangka, luka batin yang saya rasakan cukup dalam dan sulit untuk menyembuhkannya. Saya tersiksa dengan kesakitan ini hingga sekarang.
Saya pernah patah hati dan terluka, tapi rasa sakitnya tidak sedahsyat ini. Patah hati saya tiga tahun yang lalu tidak sehebat ini.
Patah hati saya tiga tahun yang lalu tidak membuat saya setrauma dan setakut ini.
Setelah sembuh dari patah hati itu, ternyata saya kembali terjatuh dan bahkan lebih dalam lagi daripada sebelumnya.
Saya patah hati lagi, ketika saya sudah bisa membuka hati yang lama tertutup.
Saya patah hati lagi, ketika saya mencoba memberikan yang terbaik untuk seseorang yang bisa mencuri hati saya.
Saya patah hati lagi, ketika saya bisa menyayangi sepenuh hati dan percaya lagi tentang cinta.
Orang-orang terdekat saya paham bagaimana saya jika sudah menyayangi sesuatu secara mendalam.
Mereka juga paham bagaimana remuk dan hancurnya saya yang ditinggal saat sedang sayang-sayangnya itu.
Saya, kacau balau hingga tak bisa mengenali diri sendiri.
Karena luka ini dan perjalanan panjang untuk menyembuhkannya, saya menjadi orang yang awalnya apatis semakin lebih apatis lagi soal cinta. Saya tak peduli. Semua itu hanya omong kosong belaka.
Hati saya juga hampa, seolah tidak bisa lagi merasakan afeksi yang ada di sekitar saya.
Hati saya mati rasa dan dingin, seolah tak bisa lagi merasakan apa itu sejatinya soal cinta.
Saya tak lagi peduli dengan rasa-rasa yang hadir. Walau sebenarnya saya tidak mau menyakiti orang karena saya sendiri belum sembuh dan takut hanya menjadikannya pelarian.
Saya kembali tidak percaya cinta dan timbul pertanyaan dalam benak, apa cinta itu sebenarnya?
Saya tak lagi bisa tertawa lepas, semua yang saya rasakan seolah semu belaka.
Saya kembali menutup pintu hati saya dan tak tahu apa yang akan bisa membuatnya terbuka lagi.
Saya menjadi sosok yang sinis dan getir.
Kini, seolah hidup saya hanya untuk bangun dari tidur, bekerja, dan tidur lagi dan itu yang dilakukan berulang-ulang setiap harinya.
Seolah tak ada sesuatu yang bisa membuat saya merasa lebih hidup.
Saya merasa kehilangan diri saya yang mudah semangat akan hal-hal kecil.
Saya merasa kehilangan diri saya yang hangat dan tidak pernah takut atas sikap orang terhadap saya.
Tak hanya itu, saya juga merasa kehilangan kepercayaan diri saya, saya merasa tidak pantas untuk dicintai.
Saya merasa berbeda, mengingat saya tidak seperti perempuan pada umumnya. Saya tidak cantik, tidak pandai berdandan pun bersolek, penampilan terbaik saya sekadar kaus dan celana jins panjang serta sneakers.
Saya khawatir apakah diri ini akan bisa membuat orang lain mencintai saya apa adanya.
Meskipun berulang kali juga saya mencoba untuk menjadi sama seperti perempuan-perempuan di luar sana,
Tapi justru saya tidak nyaman. Saya nyaman sebagaimana saya yang seperti ini.
Satu pergumulan, namun berhasil memporak-porandakan kehidupan saya.
Dan kini, saya tidak tahu apa yang akan membuat saya pulih, karena saya sudah mencoba berbagai cara.
Saya tidak tahu apa yang bisa menyembuhkan saya dan mengembalikan diri ini seperti sedia kala.
Saya tidak tahu apa yang bisa membuat rasa percaya saya terhadap apapun akan kembali lagi.
Saya tidak tahu setelah ini apakah saya bisa kembali membuka hati saya lagi.
Saya belum mengerti apa yang sedang Tuhan kerjakan dalam hidup saya.
Maaf jika perasaan ini hanya membebani yang bersangkutan, sungguh, saya pun tak ingin rasa ini masih ada karena saya juga tahu tak akan pernah ada ujungnya.
Saya malah berharap, untuknya segera mendapat pengganti yang lebih baik dari saya, agar saya tidak merasa bisa melihat celah untuk masuk lagi ke kehidupannya.
Saya hanya ingin mengalihkan perasaan ini kepada sosok yang tepat dan kembali merasa dicintai secara benar.
Untuk saat ini saya nggak minta apa-apa, kecuali ingin sembuh, pulih, dan kembali hidup tenang serta bahagia dengan cara saya sendiri.
Iya, saya hanya ingin sembuh.....
Surakarta, 22 Agustus 2018.
NBRP.
I feel you, Bul. Gila, gara-gara relate, sampai mual gue baca tulisan ini. T.T
BalasHapusWaaaa. I feel you too, kak :")
BalasHapus