When Everyone has Gone
Some space at office |
Hari ini, semuanya berjalan seperti biasa, ngantor, menyelesaikan target kerjaan, rapat strategi, ketawa-ketiwi sama rekan-rekan di kantor.
Semuanya tampak biasa aja, sampe pada akhirnya ketika kerjaan udah kelar dan bergegas keluar kantor untuk pulang mengendarai motor menembus dinginnya malam hari di Solo yang sudah tampak sepi, tiba-tiba gue menangis.
Belum ada setengah perjalanan menuju kosan, nggak tahu kenapa air mata ini mengalir saat gue masih berada di atas motor, meski memang sempat mengendarai motor sambil bengong dan pikiran melayang ke mana-mana.
........kehilangan orang terdekat gue lagi. Entah udah yang ke berapa kali gue alami di awal tahun 2018 ini.
Gue pikir, gue udah kembali kuat untuk menghadapi lagi yang namanya kehilangan. Gue pikir, gue sudah siap untuk menerima kepergian seseorang lagi. Gue pikir, setelah beberapa kehilangan yang lalu sudah cukup membuat gue merasa tangguh untuk menghadapi hal yang sama lagi. Ternyata enggak. Gue salah.
Dan di atas motor, gue menyadari, bahwa gue kehilangan semua orang-orang terdekat gue di kantor. Orang-orang yang dari awal kerja merintis kanal baru tempat gue kerja baeng-bareng.
Orang-orang yang bisa gue sebut adalah support system gue di tempat perantauan gue ini. Orang-orang yang selalu menemani gue selama hidup di Solo ini. Tempat gue berbagi dan mendengarkan cerita. Orang-orang yang menjadikan gue lebih baik dengan nasihat-nasihat mereka. Orang-orang yang gue anggap adalah berkat gue.
Gue sadar, sekarang gue sendirian. Gue udah nggak punya siapa-siapa di sini. Semuanya pergi.
Tangis gue makin menjadi, tapi harus gue seka karena saat itu harus makan. Gue arahkan motor gue ke tempat makan yang sudah tidak asing pula bagi mereka, orang-orang terdekat gue ini. Tempat makan samping hotel yang juga penuh kenangan.
Bahkan, entah memang semesta memang sedang bergurau dengan gue apa gimana, bapak pemilik tempat makan itu sempat menanyai gue,
“Mbak, kok sudah lama nggak kumpul sama temen-temen lainnya di sini?”
Gue cuma bisa tersenyum getir sambil menjawab sekadarnya.
Saat menunggu mi goreng pesanan, pikiran gue sibuk kembali ke masa-masa saat gue masih bersama mereka. Sibuk mengulang lagi segala perpisahan satu per satu dari mereka yang tidak bisa terhindarkan.
Tak perlu gue sebut nama aslinya ya, biar mereka tidak besar kepala jika membaca tulisan ini. Haha.
Mulai dari perpisahan pertama, Angel salah satu sahabat terdekat di kantor, yang rencana kepergiannya dia sembunyikan dari gue pada awalnya.
Dia kepergian pertama yang bikin gue amat sangat terpukul untuk merasakan yang namanya kehilangan lagi.
Dia salah satu sahabat di sini yang memahami gue pribadi yang seperti apa, a 04.00 am o'clock friend, tempat berbagi keresahan serta kerecehan soal kantor, hidup, dan masa depan.
Dan, Angel pergi bersama dengan mimpi-mimpinya.
Saat Angel berjanji bakal terus pake gelang yang gue kasih. |
Selanjutnya, kepergian yang nggak terpikirkan dan bahkan sangat mendadak tanpa gue tahu apa-apa sebelumnya.
Kepergian kedua itu, kepergian editor gue yang biasa gue panggil Om, karena emang udah kayak sama om sendiri.
Om yang selalu menjadi teman duet gue waktu kerja, teman nonton film maupun acara musik serta acara-acara lainnya di Solo. Om dengan segala umpatan-umpatannya yang selalu bikin ketawa. Om yang bisa mendadak serius dan ngasih nasihat serta wejangan yang nampol banget tapi berakhir dengan banyolan absurd-nya itu. Om yang selalu terbuka untuk mendengarkan cerita dan keluhan.
Inget banget, gue tahu dia bakal pergi malah dari orang lain, bukan dari Om sendiri yang cerita ke gue.
Gue sedih, dan makin sedih lagi karena nggak nyangka satu hari setelah diberitahu soal kepergiannya, besoknya Om udah bener-bener nggak kerja lagi di kantor. Prosesnya dibuat sekilat itu entah kenapa gue juga nggak paham.
Sekali lagi gue terpukul. Gue kecewa, karena harus secepat itu tanpa gue bisa menyiapkan sesuatu buat Om.
Inget banget gimana gue udah nggak bisa nahan air mata gue saat Om perpisahan di kantor dan badan ini langsung menyeruak memeluknya. Sespontan itu. Gue nggak peduli, yang gue tahu gue sedih, kecewa, dan terpukul soal kepergian Om. Tangis gue pecah di pundaknya sementara gue nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Air mata gue yang berbicara saat itu.
Dan, Om pergi dengan masa depan yang lebih baik lagi bagi kehidupannya.
Kemudian, kepergian yang bikin gue kaget lagi adalah, keputusan Ukhti yang tak gue sangka lebih cepat dari yang gue bayangkan.
Karena pada awalnya, meski semua rekan-rekan nantinya juga akan mengundurkan diri pada waktunya, tapi gue mengira yang akan bertahan agak lama adalah gue dan Ukhti. Dan gue salah lagi. Ukhti membuat keputusan yang lebih cepat dari yang gue perkirakan.
Sama seperti Angel, Ukhti menyimpan rapat niat kepergiannya dari gue. Karena saat itu dia nggak mau bikin gue yang udah kacau karena persoalan asmara gue pribadi, makin kacau kalo mendengar segala rencana dan keputusan dia untuk pergi.
Nyatanya, gue tetap makin kacau saat ia sudah mau jujur soal rencana dan keputusannya itu. Saat itulah, gue seolah kehilangan diri gue. Jiwa gue seolah hilang ke mana setelah tahu bakal ada yang bakal pergi lagi. Kehilangan yang bertubi-tubi.
Gue udah nggak bisa mikir jernih lagi saat itu. Apalagi Ukhti adalah teman dan sahabat pertama gue di Solo. Partner berpergian gue ke mana-mana sampe dibilang orang kantor kita berdua ini satu paket.
Teman yang paling gue percaya di Solo, tempat gue bisa berkeluh kesah dan menceritakan semua hal, sedalam-dalamnya tentang gue. Tempat berbagi masalah dan solusi. Sahabat yang akan selalu menjadi pilihan pertama gue untuk segala urusan gue.
Yang membuat gue lebih sedih lagi adalah, gue nggak ada di sampingnya saat dia perpisahan di kantor karena gue harus ke luar kota dan nggak ketemu untuk terakhir kalinya sebelum dia pindah.
Gue hanya bisa menyampaikan perpisahan melalui barang yang gue kasih dan surat yang gue tulis beberapa hari sebelum gue berangkat ke luar kota.
Dan, Ukhti pergi dengan keputusan terbaiknya.
Kepergian kedua itu, kepergian editor gue yang biasa gue panggil Om, karena emang udah kayak sama om sendiri.
Om yang selalu menjadi teman duet gue waktu kerja, teman nonton film maupun acara musik serta acara-acara lainnya di Solo. Om dengan segala umpatan-umpatannya yang selalu bikin ketawa. Om yang bisa mendadak serius dan ngasih nasihat serta wejangan yang nampol banget tapi berakhir dengan banyolan absurd-nya itu. Om yang selalu terbuka untuk mendengarkan cerita dan keluhan.
Inget banget, gue tahu dia bakal pergi malah dari orang lain, bukan dari Om sendiri yang cerita ke gue.
Gue sedih, dan makin sedih lagi karena nggak nyangka satu hari setelah diberitahu soal kepergiannya, besoknya Om udah bener-bener nggak kerja lagi di kantor. Prosesnya dibuat sekilat itu entah kenapa gue juga nggak paham.
Sekali lagi gue terpukul. Gue kecewa, karena harus secepat itu tanpa gue bisa menyiapkan sesuatu buat Om.
Inget banget gimana gue udah nggak bisa nahan air mata gue saat Om perpisahan di kantor dan badan ini langsung menyeruak memeluknya. Sespontan itu. Gue nggak peduli, yang gue tahu gue sedih, kecewa, dan terpukul soal kepergian Om. Tangis gue pecah di pundaknya sementara gue nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Air mata gue yang berbicara saat itu.
Dan, Om pergi dengan masa depan yang lebih baik lagi bagi kehidupannya.
Uang Peso dari Om yang bakal gue simpen terus. |
Kemudian, kepergian yang bikin gue kaget lagi adalah, keputusan Ukhti yang tak gue sangka lebih cepat dari yang gue bayangkan.
Karena pada awalnya, meski semua rekan-rekan nantinya juga akan mengundurkan diri pada waktunya, tapi gue mengira yang akan bertahan agak lama adalah gue dan Ukhti. Dan gue salah lagi. Ukhti membuat keputusan yang lebih cepat dari yang gue perkirakan.
Sama seperti Angel, Ukhti menyimpan rapat niat kepergiannya dari gue. Karena saat itu dia nggak mau bikin gue yang udah kacau karena persoalan asmara gue pribadi, makin kacau kalo mendengar segala rencana dan keputusan dia untuk pergi.
Nyatanya, gue tetap makin kacau saat ia sudah mau jujur soal rencana dan keputusannya itu. Saat itulah, gue seolah kehilangan diri gue. Jiwa gue seolah hilang ke mana setelah tahu bakal ada yang bakal pergi lagi. Kehilangan yang bertubi-tubi.
Gue udah nggak bisa mikir jernih lagi saat itu. Apalagi Ukhti adalah teman dan sahabat pertama gue di Solo. Partner berpergian gue ke mana-mana sampe dibilang orang kantor kita berdua ini satu paket.
Teman yang paling gue percaya di Solo, tempat gue bisa berkeluh kesah dan menceritakan semua hal, sedalam-dalamnya tentang gue. Tempat berbagi masalah dan solusi. Sahabat yang akan selalu menjadi pilihan pertama gue untuk segala urusan gue.
Yang membuat gue lebih sedih lagi adalah, gue nggak ada di sampingnya saat dia perpisahan di kantor karena gue harus ke luar kota dan nggak ketemu untuk terakhir kalinya sebelum dia pindah.
Gue hanya bisa menyampaikan perpisahan melalui barang yang gue kasih dan surat yang gue tulis beberapa hari sebelum gue berangkat ke luar kota.
Dan, Ukhti pergi dengan keputusan terbaiknya.
Dan, ini yang terbaru ini, kepergian Maudy yang awalnya gue rasa nggak bakal sesedih kepergian Angel, Om, dan Ukhti. Karena gue tahu, dia juga sudah ada niatan untuk pergi sejak lama. Jadi gue rasa, gue bakal siap kalo suatu saat dia emang udah mantap sama keputusannya itu.
Apalagi setelah ketiga orang terdekat sebelumnya ditambah satu sosok yang sempat gue anggap spesial pergi, gue sengaja untuk menjauh dari Maudy.
Gue sadar, kita nggak sedekat seperti yang dulu.
Tapi kepergian empat orang yang gue sayangi udah bikin hati gue remuk redam ditambah luka yang digoreskan satu sosok yang hadir secara singkat di kehidupan gue. Boleh dikatakan, saat itu hati gue udah nggak berbentuk. Broken into pieces.
Bisa dikatakan juga, saat itu kondisi gue juga kayak mati segan, hidup tak mau. Menjadi kuat adalah satu-satunya pilihan gue saat itu untuk survive menjalani kehidupan gue.
Gue nggak mau sedih lagi, nggak mau ada drama-drama lagi, nggak mau patah hati lagi. Maka gue memilih untuk tidak lagi dekat dengan Maudy. Gue tahu ini egois sekali. But at the time I am just a broken person with a wounded heart who need to heal myself first.
Gue udah nggak ada waktu lagi buat Maudy, bahkan juga nggak menyediakan diri ini untuknya atau sekadar mengajaknya berpergian atau sekadar makan seperti dulu lagi.
Gue sibuk menyembuhkan diri gue sendiri dengan melakukan banyak perjalanan dengan orang-orang terdekat lama gue.
Hingga akhirnya keputusannya untuk pergi pun tiba. Gue saat itu yang mendengarnya juga terkesan lempeng aja dan nggak sesedih waktu mendengar Angel dan Ukhti berkata jujur di depan gue soal rencana kepergiannya. Saat itu, gue yakin gue nggak bakal sedih dan menangis untuk melepas kepergian Maudy.
Hari-hari menjelang kepergiannya, gue tetap sibuk dengan diri gue sendiri tanpa meluangkan waktu untuk ngobrol atau sekadar bertatap muka dengannya. Gue juga nggak menyiapkan apapun untuk kepergiannya, beda seperti Angel dan Ukhti yang gue persiapkan sedemikian rupa.
Iya, gue tahu, gue seegois itu hanya demi melindungi diri ini yang sudah cukup merasa terluka dengan perpisahan-perpisahan sebelumnya.
Dan ternyata, benteng pertahanan gue runtuh, saat tepat kemarin, Rabu (25/4/2018), perpisahan Maudy bersama teman-teman kantor yang lain, Maudy malah ngasih gue surat dan foto kenangan gue bareng dia.
Ini bener-bener keterbalikan, dulu gue yang ngasih seperti itu ke untuk Angel dan Ukhti. Sekarang, di saat gue nggak nyiapin apa-apa, gue malah mendapatkannya dari Maudy. Seketika gue merasa bersalah. Pikiran bahwa gue udah nggak berarti bagi Maudy seketika itu ilang. Dan gue akhirnya menangisi kepergian Maudy.
Dan tadi siang, saat gue bekerja, Maudy masih sempat pamit sambil mengiringkan doanya untuk gue. Nggak ngerti lagi, gue bener-bener ngerasa bersalah karena sempat menjauhinya dan nggak ngasih apa-apa untuk dia.
Ditambah lagi, iringan doanya itu mengingatkan bahwa kita yaitu gue, Angel, Ukhti, dan dia dulu sedekat itu, ke mana-mana bareng berempat, gue pikir dia nggak inget itu. Haha. Damn.
Apalagi setelah ketiga orang terdekat sebelumnya ditambah satu sosok yang sempat gue anggap spesial pergi, gue sengaja untuk menjauh dari Maudy.
Gue sadar, kita nggak sedekat seperti yang dulu.
Tapi kepergian empat orang yang gue sayangi udah bikin hati gue remuk redam ditambah luka yang digoreskan satu sosok yang hadir secara singkat di kehidupan gue. Boleh dikatakan, saat itu hati gue udah nggak berbentuk. Broken into pieces.
Bisa dikatakan juga, saat itu kondisi gue juga kayak mati segan, hidup tak mau. Menjadi kuat adalah satu-satunya pilihan gue saat itu untuk survive menjalani kehidupan gue.
Gue nggak mau sedih lagi, nggak mau ada drama-drama lagi, nggak mau patah hati lagi. Maka gue memilih untuk tidak lagi dekat dengan Maudy. Gue tahu ini egois sekali. But at the time I am just a broken person with a wounded heart who need to heal myself first.
Gue udah nggak ada waktu lagi buat Maudy, bahkan juga nggak menyediakan diri ini untuknya atau sekadar mengajaknya berpergian atau sekadar makan seperti dulu lagi.
Gue sibuk menyembuhkan diri gue sendiri dengan melakukan banyak perjalanan dengan orang-orang terdekat lama gue.
Hingga akhirnya keputusannya untuk pergi pun tiba. Gue saat itu yang mendengarnya juga terkesan lempeng aja dan nggak sesedih waktu mendengar Angel dan Ukhti berkata jujur di depan gue soal rencana kepergiannya. Saat itu, gue yakin gue nggak bakal sedih dan menangis untuk melepas kepergian Maudy.
Hari-hari menjelang kepergiannya, gue tetap sibuk dengan diri gue sendiri tanpa meluangkan waktu untuk ngobrol atau sekadar bertatap muka dengannya. Gue juga nggak menyiapkan apapun untuk kepergiannya, beda seperti Angel dan Ukhti yang gue persiapkan sedemikian rupa.
Iya, gue tahu, gue seegois itu hanya demi melindungi diri ini yang sudah cukup merasa terluka dengan perpisahan-perpisahan sebelumnya.
Dan ternyata, benteng pertahanan gue runtuh, saat tepat kemarin, Rabu (25/4/2018), perpisahan Maudy bersama teman-teman kantor yang lain, Maudy malah ngasih gue surat dan foto kenangan gue bareng dia.
Ini bener-bener keterbalikan, dulu gue yang ngasih seperti itu ke untuk Angel dan Ukhti. Sekarang, di saat gue nggak nyiapin apa-apa, gue malah mendapatkannya dari Maudy. Seketika gue merasa bersalah. Pikiran bahwa gue udah nggak berarti bagi Maudy seketika itu ilang. Dan gue akhirnya menangisi kepergian Maudy.
Kampret u memang.... |
Bagian yang bikin tangis gue pecah. |
Dan tadi siang, saat gue bekerja, Maudy masih sempat pamit sambil mengiringkan doanya untuk gue. Nggak ngerti lagi, gue bener-bener ngerasa bersalah karena sempat menjauhinya dan nggak ngasih apa-apa untuk dia.
Ditambah lagi, iringan doanya itu mengingatkan bahwa kita yaitu gue, Angel, Ukhti, dan dia dulu sedekat itu, ke mana-mana bareng berempat, gue pikir dia nggak inget itu. Haha. Damn.
Yha, pada akhirnya ada nama yang tidak tersamarkan. Terima kasih doanya. |
Iya, terima kasih doanya. Gue harap, gue masih bisa menjaga semangat gue setelah kepergian orang-orang tersayang dari sisi gue. Gue harap, masih bisa kuat meski tanpa kehadiran mereka di sini. Karena gue sadar, gue sekarang bener-bener sendirian di sini.
Teman-teman lain di kantor, beda dengan empat orang ini. Meski mereka selalu menjanjikan akan bisa berjumpa lagi suatu saat, tetap aja situasinya tak lagi sama seperti dulu lagi.
Untuk Maudy, yang entah akan membaca tulisan cengeng ini atau enggak, gue pengin sampaikan segala ucapan yang nggak bisa gue sampaikan secara langsung karena gue selemah itu orangnya.
Terima kasih untuk kebersamaan kita selama satu tahun empat bulan ini. Terima kasih untuk segala kerecehan, canda tawa, umpatan-umpatan, dan segala kenangan baik yang pernah kita lalui bersama.
Terima kasih sudah menjadi teman yang baik untuk seorang Bulan yang seperti ini. Terima kasih untuk segala ceritamu dan kesediaannya untuk mendengarkan segala cerita-ceritaku. Terima kasih sudah menerima kealayanku. Terima kasih sudah mau memahamiku. Terima kasih, terima kasih, untuk semuanya, semua hal baik yang nggak bisa aku sebutin satu persatu.
Dan maaf, kalo aku belum bisa menjadi teman yang baik untuk kamu, yang nggak bisa selalu ada untuk kamu di kondisi apapun, maaf kalo aku banyak salah sama kamu, mulai dari perbuatan dan perkataan. Maaf kalo aku sempat sengaja menjauhi kamu. Maaf belum bisa menjadi yang terbaik dan bisa diandalkan seperti teman-teman dekatmu yang lain. Maaf, maaf sekali...
Semoga kamu tetap menjadi sosok yang ceria, yang membawa senyum dan tawa buat orang-orang terdekatmu, siapapun itu. Semoga kamu tetap menjadi kamu yang seperti ini. Semoga pilihanmu yang sekarang adalah pilihanmu yang terbaik. Dan doa-doa baik lain yang kusemogakan untuk kamu. Mungkin kamu jijik ya dengernya, tapi...ya aku....sayang kamu. Ew.
***
Dan yang jelas, terima kasih Om, Angel, Ukhti, dan Maudy, yang sudah hadir dan memberikan warna yang indah di dalam kehidupan gue. Sampai kapanpun kalian tetap berkat buat hidup seorang Bulan.
Yang kehadirannya memberikan segala hal yang baik untuk diri ini yang masih terus belajar untuk menjadi dewasa dan lebih baik dari sebelumnya.
Terima kasih untuk segala kebaikan, kenangan, cerita, pengalaman, dan banyak hal positif lainnya yang sudah pernah dibagikan buat gue. Terima kasih banyak, gue amat sangat bersyukur dengan adanya kalian. Maaf kalo gue belum bisa membalas itu semua, ya.
Kita ketemu dan kumpul lagi suatu saat nanti ya, membagikan kisah yang sudah berbeda sekarang.
Kita ketemu dan kumpul lagi suatu saat nanti ya, membagikan kisah yang sudah berbeda sekarang.
***
Sekarang, gue bener-bener sendirian tanpa mereka di sini. Dan tentunya untuk sekian kehilangan yang gue rasakan sekaligus dalam beberapa bulan ini, gue merasakan ada trauma yang menyerang gue. Iya, gue trauma.
Sekarang gue takut untuk menjadi dekat dengan seseorang, maka dari itu sekarang gue lebih memilih untuk menyendiri terlebih dahulu. Melakukan semuanya sendirian tanpa perlu ada yang menemani.
Untuk saat ini, gue nggak mau dekat dengan siapapun secara khusus, spesial, atau apapun itulah istilahnya.
Untuk saat ini, gue nggak mau dekat dengan siapapun secara khusus, spesial, atau apapun itulah istilahnya.
Ke mana-mana cukup sendirian, makan sendirian, di kantor haha hihi dengan teman-teman yang ada sekadarnya, gue nggak mau ketergantungan dengan orang lagi, gue belum siap lagi jika harus kehilangan lagi.
Sekarang gue juga takut untuk terlalu ramah dan akrab kepada siapapun, karena gue takut, kebaikan gue dianggap dan dibilang bikin baper lagi. Gue takut kebaikan gue diromantisasi dan berujung pada sakit hati sama seperti yang terjadi antara gue dan sosok yang tidak gue ceritakan lebih dalam lagi di sini.
Mungkin ini waktunya gue untuk menikmati segala sesuatunya sendirian, mengenali diri sendiri lebih baik lagi sampai gue sudah siap untuk bertemu dengan orang-orang baru lagi.
Mungkin ini waktunya gue untuk bersedih dulu, menikmati masa-masa patah hati, di saat tahun 2017 hidup gue penuh dengan kebahagiaan. Yah, segala sesuatu memang harus seimbang kan, ya.
Mungkin ini waktunya gue untuk membenahi lagi diri gue ini sampai gue bertemu dengan sosok yang tepat untuk mengisi lagi ruang hati ini. Sosok yang menemani gue sampai kapanpun.
Melakukan lebih banyak lagi perjalanan untuk menyembuhkan luka hati yang sulit untuk sembuh ini.
Gue akui, meski sudah memaafkan si pembuat luka dari jauh, perasaan gue tetap sama buatnya entah sampai kapan. Kenangan baik tentangnya tetap tersimpan di benak ini, entah sampai kapan. Gue tetap merindukannya setiap saat, entah sampai kapan. Namanya tetap terselip di tiap doa-doa gue setiap saat, entah sampai kapan. Rasa sakit ini masih tetap terasa, entah sampai kapan.
Tampaknya, gue masih butuh banyak waktu untuk bisa benar-benar sembuh dari semua yang udah gue rasain beberapa bulan ini.
Bahkan, bukan hal yang mudah gue menuliskan postingan kali ini, ada beberapa saat gue selalu berhenti mengetik saat tak kuasa menahan segala kenangan-kenangan yang datang menyerbu isi kepala gue. Mengingat lagi apa yang sudah susah payah gue lewati beberapa bulan yang lalu. Bukan hal yang mudah bagi gue untuk membagikan ini semua.
Tulisan-tulisan gue di blog beberapa bulan ke belakangan pun isinya sedih semua, semoga, ada masa di mana gue bisa membagikan hal-hal yang membahagiakan lagi seperti sedia kala.
Tulisan-tulisan gue di blog beberapa bulan ke belakangan pun isinya sedih semua, semoga, ada masa di mana gue bisa membagikan hal-hal yang membahagiakan lagi seperti sedia kala.
Gue tahu, setelah ini, hidup gue harus dan tetap akan berlanjut lagi entah ke mana kaki ini melangkah.
Hai Pemilik Semesta, Maha Pembolak-balikkan segalanya,
Aku serahkan hidupku ke depannya dalam nama-Mu....
Surakarta, 26 April 2018.
NBRP.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan kata-kata yang baik, maka gue juga akan menanggapinya dengan baik. Terima kasih sudah membaca postingan gue dan blogwalking di sini. Terima kasih juga sudah berkomentar. Have a great day, guys! Godblessya!